kompasberita I Bandar Seri Begawan – 1 November 2025 adalah sebuah kabar bersejarah datang dari jantung Afrika Utara. Setelah puluhan tahun menjadi sengketa geopolitik paling kompleks di benua itu, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya secara resmi mengakui Sahara sebagai bagian dari Kerajaan Maroko.
Kabar gembira ini disampaikan langsung kepada Dr. Teguh Santosa, Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) sekaligus Ketua Perhimpunan Persahabatan Indonesia–Maroko, oleh sahabat lamanya, Mostafa Nakhlaoui, mantan diplomat Maroko untuk Indonesia.
“Perjuangan kita membuahkan hasil, Saudaraku. Sahara telah resmi diakui sebagai bagian dari Kerajaan Maroko,” tulis Mostafa dari Rabat lewat pesan WhatsApp.
“Ini kemenangan Anda juga,” tambahnya, menandai berakhirnya satu bab penting dalam sejarah panjang konflik Sahara Barat.
Dari Kampus Hawaii ke Podium PBB
Bagi Dr. Teguh Santosa, kabar ini bukan sekadar berita luar negeri biasa. Ia memiliki ikatan intelektual dan emosional dengan Sahara sejak masa studinya di University of Hawaii at Manoa, ketika mengambil mata kuliah International Conflict Resolution di bawah bimbingan Prof. Carolyn Stephenson.
Kala itu, ia memilih konflik Sahara Barat sebagai topik penelitian akhir. Pilihan yang jarang disentuh mahasiswa lain, namun justru mengantarnya memahami kompleksitas geopolitik Afrika Utara, dari kolonialisme Eropa hingga Perang Dingin.
“Dari membaca tentang pasukan penjaga perdamaian PBB, saya menemukan nama MINURSO. Dari situlah saya mulai menelusuri akar konflik Sahara Barat,” kenangnya.
Jejak Sejarah Panjang: Dari Protektorat Prancis hingga Perang Dingin
Konflik Sahara Barat bermula dari Perjanjian Fez (1912) yang menempatkan Maroko di bawah protektorat Prancis, sementara wilayah selatan diserahkan kepada Spanyol dan disebut “Sahara Spanyol”.
Ketika Spanyol angkat kaki pada 1976, kelompok separatis Polisario Front, dengan dukungan Aljazair dan Libya, memproklamasikan “Sahara Barat” sebagai negara merdeka.
Namun Maroko menolak, menegaskan wilayah itu bagian dari kedaulatannya. Perang pecah hingga 1991, sebelum akhirnya dicapai gencatan senjata dan kesepakatan untuk menggelar referendum — yang hingga kini tak pernah bisa dilaksanakan karena persoalan daftar pemilih dan politik identitas.
Perjuangan Diplomatik Maroko dan Dukungan Internasional
Sejak awal 2000-an, Maroko mendorong proposal otonomi luas untuk Sahara sebagai solusi damai.
Proposal ini mendapat sambutan positif dunia internasional, termasuk dalam forum PBB di New York. Dr. Teguh sendiri tiga kali tampil sebagai petisioner dalam pembahasan di Komisi IV PBB, pada 2011, 2012, dan 2023.
“Saya selalu menegaskan bahwa otonomi adalah solusi paling realistis dan demokratis dibanding tuntutan kemerdekaan sepihak,” katanya.
Kini, pandangan itu terbukti. Dalam pemungutan suara Dewan Keamanan PBB, Jumat, 31 Oktober 2025, sebanyak 11 negara mendukung proposal otonomi Sahara Maroko, termasuk Amerika Serikat, Inggris, Prancis, Yunani, Denmark, Panama, Guyana, Sierra Leone, Slovenia, dan Somalia.
Sementara Tiongkok, Rusia, dan Pakistan memilih abstain. Aljazair menolak dan tidak berpartisipasi. Resolusi 2797 (2025) yang diterbitkan PBB menegaskan bahwa:
“Genuine autonomy could represent a most feasible outcome.” (Otonomi sejati dapat menjadi hasil yang paling layak.)
Resolusi ini juga memperpanjang mandat MINURSO hingga Oktober 2026.
Transformasi Sahara: Dari Gurun Sengketa Menjadi Kawasan Strategis
Dr. Teguh sempat mengunjungi Dakhla, kota utama di Sahara, dua kali — pada 2010 dan 2024. Ia menyaksikan perubahan luar biasa kawasan itu.
Kini Dakhla telah menjelma menjadi kota wisata dan ekonomi baru Maroko, dengan proyek raksasa Dakhla Atlantic Port yang menghubungkan Afrika Barat dan Amerika.
“Maroko berhasil mengubah Dakhla dari gurun sengketa menjadi simpul ekonomi strategis. Itu buah dari konsistensi dan visi pembangunan yang inklusif,” ungkapnya.
Akhir dari Benang Kusut
Dengan pengesahan Resolusi 2797 (2025), PBB menutup babak panjang konflik Sahara yang membelit politik Afrika Utara selama lebih dari setengah abad.
Bagi Dr. Teguh, keputusan ini bukan hanya kemenangan diplomatik Maroko, tetapi juga simbol kemenangan diplomasi damai atas politik separatis dan kekerasan bersenjata.
“Insya Allah, sengketa ini akan berakhir secara damai — dan kini kita menyaksikannya,” ujarnya menutup kisah panjang perjuangan itu dengan senyum penuh makna.














